Friday, 22 December 2017

Hal-hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Mengganti Part Gitar

Oke, jadi kita udah punya gitar nih. Tapi bukan gitar hi-end dengan kualitas gila-gilaan sampai detil part-partnya. Setelah beberapa lama, mungkin kita jadi sering baca-baca artikel dan forum gitar dan memutuskan untuk ganti part-part gitar kita untuk bereksperimen dan mencari tone yang kita suka. Tapi, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan sebelum memutuskan melakukan hal ini:

Ukuran Part yang terpasang di gitar vs yang mau kita beli

Ini sangat penting. Penting banget. Apalah beli part kalo ga bisa dipasang. Kita harus jeli sekali mencari tau sebelum membeli, apalagi kalo belinya dari toko online, yang kita ga bisa ukur pake penggaris. Ya, penggaris.

Apa sih yang bikin ga bisa dipasang gini? Kan gitar sama aja? Jawabannya adalah...Amerika seenak jidat pake sistem pengukuran sendiri. Pernah denger ukuran panjang dalam satuan kaki? Inchi? Berat dalam pound? Nah itu kerjaannya Amerika dan namanya adalah sistem Imperial. Negara-negara lain umumnya pakai sistem Metric, yang biasa kita gunakan (meter, kg, dan sebagainya). Hal ini yang menyebabkan standar-standar gitar buatan Amerika dan non Amerika bisa jadi berbeda.

Contohnya, misalnya kita punya Fender buatan Jepang atau Squier buatan Indonesia. Belum tentu part-part gitar Fender USA (kayak saddle, bridge, nut, tuning machine, dan lain-lain) itu muat ke gitar Fender Japan atau Squier Indonesia. Jangankan gitu, bahkan diameter potensionya saja beda, jadi saya harus lubangin ekstra pickguard saya biar bisa dipasang potensio CTS.

Hal ini bisa dihindari kalau kita baca lebih jauh sebelum membeli dan ngoprek. Ya kayak skripsi lah, baca buku, paper, dan artikel sebelum eksperimen dan nulis itu penting banget.

Mitos-mitos yang ada di forum-forum gitar

Mitos-mitos ini banyak banget. Banget. Banget. Banget.

Contohnya, cari di Google tentang "Tone capacitor for guitars" dan kita akan liat banyak banget orang debat ngomongin tipe kapasitor yang bagus. Kapasitor macem-macem banget harganya untuk ukuran yang sama. Ada yang 10 ribuan sampe 900 ribu. Ya, 900 ribu. Padahal, nih kata artikel di website Lindy Fralin Pickups:

The type of cap is not as important as the value of the cap, for guitar. In an Amp, your cap type is much more important, as the signal is being passed through the cap all the time. In a guitar, you’re not hearing the cap itself, you’re hearing what the cap is impeding (https://www.fralinpickups.com/2017/08/08/tone-capacitors-work/)  
Dan kalo mau bukti yang lebih kuat karena dicoba dengan teliti bisa diliat di sini: http://zerocapcable.com/?page_id=224 

Kapasitor yang penting itu ukuran kapasitasninya, dan untuk kualitas yang Orange Drop aja cukup. Kapasitor ini bagus dan bisa dicari di tokopedia dengan harga kurang dari 50 ribu (saya beli 22.500 sih, ada yang lebih tinggi juga harganya tergantung ukuran).

Kalo ga rusak, jangan dibenerin

Ini rule of thumb di banyak hal, termasuk ngutak-ngatik gitar. Kalo fret kita ga aus, jangan di refret. Kalo ga ada cacat, saddle jangan dulu diganti. Prinsip ini bisa menghemat uang untuk hal yang tidak diperlukan. Sebenarnya kita ingin optimasi gitar kita agar lebih bagus. Tapi, jika belum ada part yang harus diganti tapi kita ganti, itu tidak akan mengoptimalkan juga. Ini sebenarnya prinsip yang dibilang Donald Knuth, seorang dedengkot programming:
Premature optimization is the root of all evil (https://en.wikiquote.org/wiki/Donald_Knuth)  
Terakhir, jangan beli dari orang yang tidak dipercaya. Kaskus tempat yang lumayan informatif untuk mencari tau apakah penjual tersebut masuk ke dalam "daftar hitam" atau ngga.

Kalau udah siap, baru siapkan obeng, tang, solder, kunci L, dan uang hehe.

Friday, 20 October 2017

Mode Pengkabelan (Wiring Mod) untuk Gitar Model Stratocaster

Beberapa mode pengkabelan (wiring mod) pada gitar Stratocaster dapat dilihat langsung di situs Fender. Namun, kali ini saya ingin memberikan kesimpulan dari beberapa wiring mod yang saya amati:

Eric Johnson Signature

Dengan wiring mod pada gitar Eric Johnson, kita ga akan bisa mengontrol tone dari pickup tengah (middle pickup) melainkan hanya pickup neck dan pickup bridge. Eric Johsnson menggunakan kapasitor 0.1uF.

Stevie Ray Vaughan Signature

Berbeda dengan Eric Johson, wiring mod pada gitar SRV menyebabkan pickup bridge yang tidak bisa dikontrol tonenya, melainkan hanya pickup neck dan middle. SRV menggunakan kapasitor 0.022uF.

Jeff Beck Signature

Berbeda dengan Eric Johnson maupun SRV, dengan wiring mod Jeff Beck, kita bisa mengontrol tone dari semua pickup, dengan catatan, potensio tone neck hanya untuk pickup neck, dan potensio tone bridge mengontrol pickup bridge dan middle secara bersamaan. Pada wiring mod ini, semua potensio dihubungkan ke ground, dengan titik common ground di potensio volume. Jeff Beck menggunakan kapasitor 0.022uF.

Kenny Wayne Shepherd Signature

Mirip dengan Jeff Beck dimana potensio tone bridge bisa untuk mengontrol pickup bridge dan middle secara bersamaan. Namun, Kenny Wayne Shepherd tidak menyambungkan semua potensio ke common ground seperti Jeff Beck. Kenny Wayne menggunakan kapasitor 0.1uF.

SVL Matt Schofield Signature

Saya dapet ini dari Facebooknya SVL Guitars. Wiring mod pada gitar Matt Schofield mirip dengan Eric Johnson Signature, hanya saja kapasitornya 0.022uF.

Jimmie Vaughan Signature

Sangat mirip dengan Eric Johnson, hanya saja kapasitornya berbeda, yaitu 0.022uF.

Fender Stratocaster '57, '60, '62

Mirip dengan Eric Johnson Signature.

Fender American Standard

Mirip dengan Jeff Beck Signature.

Fender American Professional 

Ini lah yang menurut saya gitar yang ingin-mau-jadi-segala-apa-apa-aja. Dia wiringnya mirip Jeff Beck, tapi dia pake treble bleed. Treble bleednya pun kayak gabungan Duncan Mod dan Kinman Mod. Satuin aja semua asal enak haha.

Radix Rama Satria "White Mojo" Signature

Ini gitar saya. Wiringnya mirip Eric Johnson, tapi dia pake treble bleed dengan Kinman Mod plus ada switch yang bisa mengkatifkan pickup bridge kalau lagi pake pickup neck, jadi kayak suara Telecaster.

Ujung-ujungnya, semua selera yang bersifat subjektif. Saya pernah mainin gitar temen saya yang Kenny Wayne Shepherd Signature, gitar Radix Rama Satria juga, yang beda wiring modnya. Sama-sama enak, tapi beda karakter.

Sunday, 2 July 2017

Review Gitar Radix White Mojo Rama Satria

Saya pengen punya Stratocaster udah lama. Tapi stratocaster yang bagus2 itu mahal, jadi saya harus sabar nunggu. Akhirnya, setelah punya gaji, saya mau beli tapi yang ga terlalu mahal. Setelah ngobrol2 sama temen saya yang ngerti banget Stratocaster (dia punya Fender Stratocaster Mexican Standard dan Fender Stratocaster Kenny Wayne Shepherd Signature), saya diberi tahu yang penting kayunya Alder, karena spare part lainnya bisa digantinya gampang. Dia menyarankan 2 gitar ke saya: Squier Classic Vibe 60's dan Radix White Mojo Rama Satria Signature.

Saya belum sempat mencoba Squier Classic Vibe, namun karena harganya 5.25 juta pada saat itu, saya memprioritaskan Squier ini di nomor 2. Saya mau mencoba Radix dulu, karena kalo harganya di Instagram guitar freaks itu 4.5 juta, lebih murah lebih baik hehe.

Btw, Radix ini merek lokal yang katanya gitar2nya dibuat di Tangerang. Dealer resminya itu di Guitar Freaks, lokasinya di Cipete. Setelah kesana, saya ngga nemu karena stoknya habis. Akhirnya dikasih tau mas-mas penjaganya kalo di Gana Music Pondok Aren ada tinggal satu. Kebetulan dekat rumah, saya pun kesana.

Sepertinya yang disimpan Gana Music ini stok lama, sehingga udah karatan banget senarnya. Saddlenya pun karatan. Tapi saya suka sama beratnya dan "getaran"nya pas senarnya dipetik. Karena ini stok lama, dapat lah saya beli dengan harga 3.7 juta bonus senar Ernie Ball dan sebuah stand gitar yang bisa dipake untuk 2 gitar. Gila beruntung banget.

Inilah spek-spek bagus yang saya bisa liat di gitar ini:
  1. Kayu Alder, kayak gitar2 Fender Strat beneran.
    Gitar di atas meja setrika
  2. Neck Mapple, fretboard Rosewood.
  3. Saddle dan bridge model vintage.
  4. Pickup Tesla VR-1, ini pickup vintage. Suaranya bagus, saya suka.
  5. Fret wire ukuran jumbo. Ini enak banget buat bending sama vibrato, karena licin, lembut, suaranya juga enak jadinya. Tapi shredder kayaknya ga akan suka, karena susah ngebut jarinya di fret kayak gini.
    Fret Jumbo
  6. Tremolo blok yang tebel, gede, dan padat. Ga kayak tremolo blok Fender MIM yang kecil dan kopong.

    Yang padat dan besar itu bawaan Radix
  7. Neck belakangnya ada yang ga dicat, sehingga nyaman di tangan. Gitarnya SRV dan John Mayer juga necknya belakangnya gak dicat.
    Necknya ga dicat
  8. Treble bleed dengan Kinman Mod. Model Kinman ini kapasitornya diseri dengan resistor. Kalo Duncan Mod (kayak yang dipake Ginda Berstari) itu diparalel. Kalo kayak Fender Professional Series, diseri dan di paralel, jadi resistornya kayak bikin voltage divider gitu. Saya suka Kinman Mod karena ga terlalu nyaring treblenya tapi masih ada treblenya.

    Kinman treble bleed, yang resistor dan kapasitor itu (bukan yang dekat jari)
  9. Kapasitor di potensiometer tone control 0.047 uF. Ini ga bagus ga apa sih, selera nilai mah. Makin gede kapasitansinya, suaranya lebih dark. Umumnya orang pake 0.047, 0.022, atau yang besar 0.1 uF.
  10. Potensio 250K Ohm, model A (naik secara logaritmik resistansinya)
  11. Ada switch buat bikin gitar ini bersuara Telecaster. Cara makenya, switch pickup di posisi neck, trus arahin switch magic ini ke bawah. Suaranya jadi suara Telecaster. Keren banget.
Dari sesuatu yang bagus, pasti ada jeleknya, apalagi mengingat harganya yang murah.
Ini hal-hal yang saya kurang suka:
  1. Switchnya yang model kurang bagus, pake PCB pertinak. Ini PCB jenis murah. Kalo mau bagus pake switch CRL kayak Fender. Kalo mau beli CRL ada di toko DIY Pedal Indonesia (mereka buka juga di Tokopedia), harganya 200 ribu. Mahal? Iya jelas. Kalo ngga saya yakin Radix pake ini.

    Switch dengan PCB pertinak
  2. Kapasitornya yang murah. Duh saya ga tau ini jenis apa. Bukan keramik, bukan Orange Drop, bukan Paper in Oil.
  3. Potensionya mereknya Alpha, cepat karat dan responya ga terlalu oke walaupun masih bisa di terima.
  4. Saddlenya jelek. Punya saya udah coak aja.
  5. Saddle udah pada coak
Saya coba mengupgrade gitarnya biar lebih baik. Ini yang bisa dilakukan (beberapa sudah saya lakukan, sisanya belum karena dompet belum mengijinkan):
  1. Ganti kapasitor dengan kapasitor Orange Drop atau Paper in Oil. Saya ganti dengan Orange Drop. DIY Pedal Indonesia menjual dengan harga 33 ribu.
    Orange Drop yang warna oren (you don't say...)
  2. Ganti saddle dengan yang lebih baik. Yang masih disetujui kantong saya itu saddle Fender MIM, harga satu set (plus bridge dan tremolo block) sekitar 300 ribuan. Kalo mau yang lebih bagus bisa beli Gotoh, Fender USA, Callaham, atau GraphTech. Namun, ingat ada harga ada barang. Merek-merek tadi paling murah 400 ribu hanya untuk saddle.

    Saddle Fender MIM
  3. Saya merasa pick up ini udah cukup, tapi mungkin ada yang selera bisa ganti pick up. Terserah, sesuai selera dan budget. Saya sih penasaran sama pickup Fender 57/62, Lollar, sama Lindy Fralin. Cuma mereka mahal banget.
  4. Ganti potensiometer CTS kayak fender. Sebagai perbandingan, harga potensio Alpha (bawaan dari Radix) sekitar 12 ribu satunya, dan CTS sekitar 80 ribu satunya.
  5. Ganti switch dengan CRL, kayak fender. DIY Pedal Indonesia menjual dengan harga sekitar 200 ribu. Mahal sih, tapi bagus emang. 
Secara keseluruhan, gitar ini sangat enak dipake dan nyaman di telinga. Kalau anda main metal, ini bukan gitar untuk anda. Kalo suka blues atau model vintage sound, saya sangat merekomendasikan gitar ini.

Friday, 3 March 2017

Membuat PCB dengan Software Kicad

Saya sedang belajar membuat PCB ceritanya. Saat masih kuliah, saya dikenalkan software yang namanya Altium oleh senior dan teman-teman saya. Jujur aja, kami pakai itu dengan crack, sebuah hal yang umum yang terjadi di kalangan saya dan teman-teman mengingat pakai Windows aja crack....

Saat ini saya juga sedang belajar membuat program. Menurut saya pribadi, ngoding itu susah banget. Banget. Banget. Banget. Trus saya inget saya pake software Altium bajakan, dan saya merasa ga enak aja yang buat software ini susah kali ya trus pada pake gratis gitu aja. Saya memutuskan untuk tidak beli software ini karena mahal banget, tapi tetap mencari alternatif untuk punya jalan yang lebih baik: cari software gratisannya.

Saya baca-baca di Internet dan menemukan dua alternatif yang populer: Eagle dan Kicad. Sepertinya Eagle lebih populer karena lebih sering disebut. Tapi, Eagle sebenernya berbayar, yang versi gratis fiturnya lebih sedikit dari yang bayar. Denger-denger, Kicad itu open source dan bener-bener gratis. Akhirnya saya pilih Kicad untuk Ubuntu saya.

Review

Sejauh ini, saya membuat PCB yang sederhana saja. Mentok-mentok ya paling jauh double layer dan bikin library sendiri. Jadi yang saya bisa ceritakan ya yang pernah saya kerjakan aja. Maaf ga bisa jauh-jauh karena memang masih belajar hehehe.

Belajar mengoperasikan Kicad tidak lah rumit untuk fitur-fitur dasar. Untuk installasi, silahkan ikuti yang ada disini: http://kicad-pcb.org/download/ubuntu/.

Untuk nyari tutorial, menurut saya yang sangat step-by-step dan lengkap ada disini: http://kicad.txplore.com/?p=96. Di link yang barusan, kita bisa pelajari gimana cara buat library sendiri. Silahkan diubek-ubek website itu, ada banyak yang bisa kita pelajarin.

Saya bingung review apa hehe. Intinya makenya gampang dan enak deh. Mirip-mirip Altium tapi fiturnya ga selengkap Altium.

Tips

Ini tips yang saya dapet dari teman/senior, internet, dan sebagainya. Hanya sedikit sih, tapi...ya sudahlah.

1. Mitos: bikin jalur jangan siku-siku

Katanya, jalur itu siku-siku (90 derajat) juga tidak apa-apa, asalkan bukan untuk operasional kecepatan transmisi tinggi sekali dan bukan untuk tegangan tinggi (ada yang bilang untuk diatas 1 kV). Jadi kayaknya kalo cuma buat arduino dengan tegangan paling-paling 5 dan 3.3v, gapapa lah bikin jalur siku-sikut. Walaupun, menurut saya, ambil best practice untuk menghindari jalur siku-siku adalah hal yang baik.

2. Ukuran jalur dan jarak antar jalur

Ini tergantung ngecing dimana. Kalo ngecing sendiri, saya lebih suka ukuran jalur 0.8-1 mm dan jarak antar jalur 0.8-1 mm juga. Kalo mesen ke multikarya atau spektra, mungkin bisa sampai setipis 0.3 mm jalurnya. Tapi untuk jalur power (VCC dan GND) saya lebih suka dilebarin, untuk VCC bisa 1.2 mm, untuk GND dijadikan ground plane.

3. Ground plane

Ground plane katanya bisa untuk mereduksi radiasi. Jadi sebaiknya dibuat ground plane, terutama untuk yang dekat dengan jalur analog dan yang berhubungan dengan komunikasi.


Ijo-ijo yang lebar sendiri itu jalur ground (gnd plane)


4. Bentuk lobang

Bentuk lobang menurut saya setidaknya memengaruhi dua hal: kemanan saat dibor dan disolder. Saran saya, sebaiknya bentuk lobang itu oval karena permukaannya lebih besar sehingga saat dibor lebih aman dan disolder lebih enak.
Bentuknya oval, x=2.8 mm, y=2 mm. Kebayang kan lebih enak soldernya dibanding bulet?
Dengan Kicad, kita pake software yang emang gratis. Jadi semoga lebih barokah hehe.

5. Mau lompatin jalur tapi ga double layer? Pake jumper aja.

jalur merah itu akan kecetak di front layer
Ada beberapa tips untuk pake jumper:
a. Jumper jangan panjang-panjang, semakin pendek semakin baik
b. Pakai jumper yang ada bungkus isolatornya (ada kulitnya) lebih baik daripada yang telanjang (bare cable)
c. Biar ga ganggu komponen di atasnya kasih aja solatip bening biar tetep nempel ke board
d. Ukuran lobang via dan diameternya disesuaikan biar disoldernya enak

Saturday, 11 February 2017

Review ESP8266 NodeMCU

Salah satu protokol komunikasi yang populer untuk IoT adalah dengan WiFi. Menurut saya, alasan dibalik kepopulerannya adalah karena murah, mudah ditemukan, dan lebih familiar dibanding dengan protokol lain (802.15.4 misalnya, walaupun dipakai untuk ZigBee dan 6loWPAN, tetap aja ga terlalu populer. Mahal. Di tokopedia ga nemu lagi).

Dulu saya pernah pakai ESP8266 yang model ESP-1, yang dihubungkan dengan mikrokontroler (ARM STM32 atau Arduino yang saya pakai) melalui SPI. Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan teman saya, dia bilang di tokopedia udah banyak yang jual ESP8266 yang model NodeMCU. Oiya, NodeMCU sebenernya nama firmwarenya, bukan hardwarenya. Hardwarenya sih ESP8266 ESP-12E.
NodeMCU ESP8266 ESP-12, gambar dari Seedstudio.com

Dengan ESP model ini, kita bisa masukin kodingan langsung ke ESP karena udah ada downloadernya. RAM dan ROMnya juga lebih besar dari ESP-1, jadi lebih enak kalo mau make ESP tanpa model master-slave (tanpa mikrokontroler tambahan). ESP ini gampang dicari di Indonesia, di toko online banyak yang jual dengan harga 60 ribuan.

Memprogram ESP8266 ESP-12E NodeMCU

Firmware NodeMCU mengizinkan kita untuk memprogram dengan LUA script. Namun, jujur saja saya tidak familiar dengan LUA script, jadi saya memilih untuk mencoba dengan C++ (atau plain C) gaya Arduino.

Cara ngoding dengan Arduino IDE:
Pertama kali saya coba, saya menggunakan Arduino IDE yang diinstal board tambahan si ESP ini. Langkahnya ada di website Sparkfun. Di website sparkfun jelas caranya, jadi saya ga tulis di sini.

Cara ngoding yang lebih manusiawi: PlatformIO
Saya ga terlalu suka sama ArduinoIDE. Ga ada file explorernya, ga ada terminal, dsb. Makanya dulu saya males pake arduino, karena dulu ngoding ARM STM32 pake CooCox yang IDEnya menurut saya lebih enak dipakai.

Tampilan PlatformIO
Untunglah ada PlatformIO. PlatformIO ini sebenernya text editor Atom, yang ditambahkan tek-tek bengeknya Arduino. Kita juga ga perlu install board ESP8266 lagi kayak pake Arduino IDE. Dan ini salah satu fitur yang saya suka: bisa cari library dengan terminal (asal online ya, karena nyarinya via internet).

Apa yang saya suka dari PlatformIO? Dia punya fitur yang ada di Arduino IDE: serial monitor, board-board arduino yang mudah diinstall, dan lebih enak untuk bikin file configurasi untuk ngotak ngatik.

Dari 2 hari nyoba PlatformIO, ini yang saya dapet dari sedikit sumber untuk pakai PlatformIO:

Cara install library tambahan di PlatformIO
Misalnya kita mau ngoding sensor IR buat remote TV dan sejenisnya. Kita bisa buka terminal di PlatformIO (dengan Shift+alt+t) trus ketik:

pio lib search IR

IR itu nama yang kita mau cari. Bisa diganti-ganti, misal mau nyari buat DHT22, BMP85, dan sebagainya. Nanti akan keluar hasil pencarian kayak gini:


Kalau kita pake ESP8266, pilih yang nomor [1089 ]. Cara installnya dengan masukkin command:

pio lib install 1089

Dimana nomor 1089 itu adalah nomor dari librarynya. Selesai deh. Enak kan.

Ada file lain yang bisa kita lakuin: nambahin build flags gcc dengan mengedit file konfigurasi platformio.ini (ada di file explorer sebelah kiri tampilan PlatformIO). Kalau mau nambahin build flag -Os, tambahin aja di file platformio.ini:

build_flags= -Os

Apaan itu -Os? Dari man gcc, kita bisa baca kalo "-Os Optimize for size.". Ini penting untuk mengoptimasi hasil kompilasi dari gcc buat dimasukkin ke flash memorynya mikrokontroler [makin optimal (makin kecil), makin baik].

Ada lagi. Kalau mau bikin file .h dan .cpp sendiri, kita sebaiknya ngikutin struktur yang disarankan sama platformIO. Kita bisa baca di readme.txt yang ada di {projek kita}/lib/readme.txt:

The source code of each library should be placed in separate directory, like
"lib/private_lib/[here are source files]".

For example, see how can be organized `Foo` and `Bar` libraries:

|--lib
|  |--Bar
|  |  |--docs
|  |  |--examples
|  |  |--src
|  |     |- Bar.c
|  |     |- Bar.h
|  |--Foo
|  |  |- Foo.c
|  |  |- Foo.h
|  |- readme.txt --> THIS FILE
|- platformio.ini
|--src
   |- main.c

Then in `src/main.c` you should use:

#include <Foo.h>
#include <Bar.h>

// rest H/C/CPP code

Dengan ngikutin struktur ini, projek kita akan lebih rapih dan kalo mau maintenance pun lebih enak dibanding semua ada di satu folder.


Wednesday, 18 January 2017

Mengapa Memiliki Hobi itu Penting

"Hobinya apa?"

Pertanyaan yang seri ditanya saat masih sekolah. Jaman saya dulu sekolah, jawaban standar anak laki adalah "main bola". Hampir semua anak seumuran saya dulu suka main bola. Tapi tidak semua benar-benar hobi. Saya suka main bola, tapi saya tidak memasukkannya ke dalam daftar hobi saya.

"Trus, hobi itu apa?"

Menurut saya, hobi bisa dicirikan seperti ini. Kalau saya pusing karena masalah, saya ingin mainin/liat/lakuin itu, dan bisa bikin masalah itu sejenak dilupakan. Saya bisa bengong karena mikirin itu. Saya berani ngeluarin uang untuk itu. Nyari tau tentang hal itu secara random dan gak jelas. Hal-hal tersebut saya bisa liat di temen-temen saya dengan hobinya masing-masing. Artinya, kemungkinan ciri-ciri tersebut valid untuk menilai apakah seseorang hobi dengan sesuatu.

"Trus, kenapa penting? Ga semua hobi bikin pinter dan kaya, kan?"

Benar. Justru itu, hobi itu kita lakuin karena kita ga mikir apa untungnya buat kita. Kita lakuin itu karena, entah bagaimana, kita suka aja. No reason. at. all.

Manfaat pertama dari hobi itu bisa jadi pelepas stress. Ada yang hobi mancing ikan. Jongkok aja dipinggir empang sampe dapet ikan (kalo dapet). Tapi, hal itu membuat dia senang. Hidup kan ada aja yang bikin sulit dan stress, oleh karena itu pelarian itu penting. Hobi bisa jadi pelarian karena stress. Daripada "minum" biar ngilangin pikiran, mending main gitar ngeblues dengan backing track yang sesuai kondisi hati. Daripada marah ke orang, mending disalurin dengan latihan mukul samsak (bener ga sih tulisannya?) dengan teknik bela diri.

Manfaat kedua itu ngisi waktu. Anggap lah kita lagi libur 3 bulan. Trus ngapain? Main? Iya lah butuh main. Tapi hobi juga main. Pasang target yang jelas. Misal kalo hobi mancing, ingin seminggu dapet berapa ikan. Kalo yang suka musik, mungkin seminggu kulik berapa lagu. Yang suka olahraga, mungkin ada teknik yang ingin dikuasai atau ingin level staminanya ditingkatkan. Kalo tercapai, rasanya senang bukan main. Rasa senang sepertinya sangat dibutuhkan, karena apa? Karena senang rasanya (wtf?).

Manfaat ketiga itu nambah teman. Ada banyak banget komunitas hobi. Dulu ada gitaris.com buat yang main gitar. Untuk yang lain-lain juga ada banyak banget. Yang suka badminton, bola, apapun itu. Orang itu unik dan banyak banget. Seru loh bisa nambah temen apalagi orang-orang yang hebat yang kita bisa berteman dan belajar dari mereka. Rasanya seperti mengembara dan mencari sensei.

Manfaat keempat itu hobi bisa jadi identitas. Misalnya, si A anak basket, si B itu gamer, si C itu gitaris, si D itu jagoan silat, si E itu kutu buku, dan seterusnya. Identitas ini tentunya baik sebagai tanda pengenal. Hobi itu tidak semua orang bisa melakukannya, karena itu selain membanggakan, bisa jadi nempel sama diri kita.

Menurut saya, hobi tidak butuh bakat. Hobi butuh perasaan kita senang atau tidak. Mau nentuin hobi dengan tes bakat? Bullshit. Bukan maksud saya menyalahkan itu karena tidak akurat (karena saya ga tau persis akurat atau tidak), tapi perjalanan mencari hobi yang kita suka itu tidak kalah seru dari mnjalani hobi itu sendiri. Jadi, kalo belum tau hobinya apa, coba cari mulai sekarang hehe.